Pembangkit listrik tenaga air

21-09-2016

BALI sebagai daerah tujuan wisata yang setiap hari menerima ribuan wisatawan mancanegara, melakukan berbagai upaya dan terobosan, termasuk memanfaatkan teknologi ramah lingkungan untuk mendapatkan energi listrik. 

Pusat pembangkit listrik tenaga bayu (angin/PLTB) yang dikelola dengan teknologi asal Belanda, dikembangkan di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, untuk menghasilkan energi listrik. 

Demikian pula pembangkit listrik tenaga air (PLTA) telah dikembangkan di Dusun Jeruk, Kabupaten Karangasem dan energi listrik hasil daur ulang sampah tengah dibangun di pinggiran kota Denpasar. 

Nusa Penida, sebuah pulau yang terpisah dengan daratan Bali yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Klungkung itu, warganya kini bisa menikmati penerangan listrik bersumber dari sembilan PLTB, tutur Kepala Humas PT PLN Distribusi Bali, Hendra Saleh. 

Kecamatan Nusa Penida yang terdiri atas tiga pulau kecil masing-masing Nusa Penida, Lembongan dan Ceningan, dihuni oleh sekitar 48 ribu jiwa. Mereka menikmati penerangan listrik hasil teknologi, tanpa menggunakan bahan bakar minyak (BBM) maupun batu bara. 

Pemanfaatan teknologi yang berasal dari Belanda itu masing-masing berkapasitas 80 kilowatt yang dibangun atas dukungan dana pemerintah pusat dan PT PLN. 

Pusat pembangkit listrik tanpa BBM itu dikelola warga masyarakat setempat yang terhimpun dalam wadah koperasi, sebelum energi listrik itu dijual kepada PLN untuk kembali disalurkan kepada konsumen. 

Pemanfaatan teknologi untuk kesejahteraan rakyat akan terus dikembangkan di Pulau Dewata, sebagai upaya menghemat penggunaan BBM, mengingat harganya di pasaran global semakin meningkat serta persediaannya terbatas, kata General Manager PT PLN Distribusi Bali Ir Sudirman, MM. 

Kesembilan PLTB tersebut merupakan realisasi dari pencanangan Nusa Penida sebagai pusat pengembangan energi bersih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhonoyono ketika berkunjung ke daerah terisolir itu 28 April 2007. 

Penggunaan energi alternatif untuk menghasilkan listrik tersebut sempat ditinjau delegasi konferensi internasional perubahan iklim (UNFCCC) yang mengadakan pertemuan di Bali pertengahan Desember 2007. 

Proyek dari PLN pusat itu digarap tim ahli dari Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI) beserta tenaga ahli dari Belanda dan China. 

Sebelum sembilan PLTB beroperasi, pelayanan listrik di daerah terisolir itu mengandalkan jaringan interkoneksi yang menghubungkan Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan dan Pulau Nusa Ceningan, sejauh 1,3 km dengan menembus tebing curam berketinggian 100 meter dari pemukaan pantai. 

Jaringan interkoneksi listrik senilai Rp4 miliar itu berkapasitas 5,97 MW yang bersumber dari pusat pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) Kutampi 4,30 MW, PLTD Jungut Batu 0,87 MW dan PLTD Bayu 80 KW. 

Dengan beroperasinya sembilan PLTB, kapasitas energi listrik di Nusa Penida dapat ditingkatkan menjadi 610 Kwh, sehingga mampu mencukupi kebutuhan listrik bagi warga setempat maupun kebutuhan pariwisata, bahkan masih ada kelebihan. 

Gubernur Bali Drs Dewa Beratha dalam kunjungan kerjanya ke daerah itu mengharapkan, sisa penggunaan listrik di Nusa Penida dapat disalurkan ke Bali lewat kabel bawah laut menuju pantai Kabupaten Gianyar. 

Adanya pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar alternatif, diharapkan biaya operasional tidak terlalu mahal, sekaligus harga jual kepada konsumen menjadi lebih murah. 

Ketiga pulau-pulau kecil itu memiliki keindahan alam bawah laut, dalam beberapa tahun belakangan menjadi incaran investor untuk menanamkan modalnya pada jasa kepariwisataan. 

Empat hotel besar yang merupakan konsumen potensial di daerah itu sejak lama mendambakan kehadiran PLN, sekaligus mampu menekan kerugian yang selama ini dialami PLN Area Pelayanan (AP) Kabupaten Klungkung. 

Adanya jaringan interkoneksi akan mampu melayani konsumen, termasuk pelanggan potensial, sehingga kerugian yang dialami selama ini dapat dihindari di masa-masa mendatang, sekaligus bisa meraih keuntungan, kata Hendra Saleh. 

Biaya produksi energi listrik di Nusa Penida rata-rata Rp2.500/KWH, namun harga jual hanya Rp500/KWH. Hal itu didasarkan atas perhitungan biaya pembangkit Rp2.200/KWH, biaya distribusi Rp260/KWH dan biaya pelayanan Rp40/KWH. 

Biaya produksi per KWH tersebut didasarkan atas perhitungan harga solar Rp4.950 per liter. Padahal sejak kenaikan BBM harganya kini Rp5.200/liter dan biaya angkut ke Nusa Penida Rp500/liter. Hal itu karena di tiga pulau tersebut belum ada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). 

PLTA 

Daerah tujuan wisata Pulau Bali yang masuk dalam jaringan interkoneksi Jawa-Bali terus berupaya mengembangkan dan memanfaatkan potensi kelistrikan dalam kapasitas kecil, dengan harapan mampu memenuhi kebutuhan listrik dalam satu lingkungan atau desa. 

Bali memiliki potensi besar bidang kelistrikan untuk sekala kecil, seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA), tenaga angin, gelombang laut dan bioteknologi yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. 

Pihak PLN Bali mendorong warga setempat untuk membangun pusat pembangkit listrik skala kecil yang selama ini sudah dirintis di beberapa tempat. 

Upaya tersebut untuk menjadikan Bali mandiri dalam memenuhi kebutuhan listrik, tanpa tergantung dari pasokan listrik dari luar daerah. 

Bali selama ini memiliki persediaan energi listrik berkapasitas 580 MW yang bersumber dari pasokan kabel bawah laut dari Pulau Jawa 200 MW, pembangkit listrik Gilimanuk 130 MW, PLTD Pesanggaran 120 MW dan PLTG Pemaron 80 MW. 

Semua pusat pembangkit listrik tersebut menggunakan bahan bakar solar, sehingga biaya operasional sangat besar, lebih-lebih dengan adanya rencana kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. 

Adanya alternatif menggunakan non BBM maupun bahan bakar nabati, tenaga air maupun tenaga surya, diharapkan mampu mengurangi biaya produksi sehingga tarif listrik dapat ditekan serendah mungkin, harap Hendra Saleh. 

Energi listrik hasil daur ulang sampah oleh PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) yang mengelola pembangunan proyek instalasi pengelolaan sampah terpadu (IPST) di kawasan Suwung, Denpasar, diharapkan segera masuk dalam sistem kelistrikan di Bali. 

Dalam perencanaan daur ulang sampah tersebut menurut Kepala Badan Pengelola Kebersihan di wilayah Kota Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (SERBAGITA) I Made Sudarma, diharapkan mampu memasok 9,6 MW pada tahun 2009-2010, guna menambah pasokan energi listrik di Bali. 

Pengolahan sampah menjadi energi listrik dalam tahap pertama diharapkan bisa menghasilkan dua megawatt pada bulan Agustus 2008, kapasitasnya secara bertahap dapat ditingkatkan hingga mencapai 9,6 MW. 

Pembangunan proyek instalasi pengelolaan sampah terpadu membutuhkan investasi sedikitnya 20 juta dolar AS, dirancang mampu mengelola 800 ton sampah per hari yang berasal dari sisa-sisa yang tidak berguna di empat kota yang tergabung dalam Serbagita. 

Pihak investor telah mendatangkan sebuah alat canggih dari Inggris untuk mendeteksi gas yang terkandung dalam sampah sebelum diolah menjadi energi listrik. Alat tersebut masih dalam uji coba tetapi telah mampu menghasilkan listrik hasil pengolahan sampah. 

Proyek tersebut masih dalam proses penyempurnaan dan tahap pertama diharapkan sudah beroperasi bulan Agustus 2008 dengan kapasitas dua MW, ujar Sudarma. 

Pengelolaan sampah dengan menerapkan teknologi "landfill" mampu menghasilkan energi listrik, di samping menangani masalah sampah secara tuntas, yang selama ini penanganannya tidak dapat dilakukan secara tuntas. 

Pembangunan proyek yang digarap sejak akhir 2005 itu berlangsung di atas lahan seluas enam hektar yang disediakan pemerintah di pinggiran kota Denpasar. 

Kehadiran proyek tersebut selain mampu menghasilkan energi listrik, sekaligus mengelola sampah dengan baik, dalam mewujudkan kebersihan lingkungan serta memperbaiki kondisi sekitar tempat penampungan akhir (TPA) sampah di Suwung yang selama ini lokasinya tercemar akibat sampah yang tidak tertangani, ujar Made Sudarma.